Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Butet Kertaradjasa Berpotensi Mati Muda


Butet Kertaradjasa

Berpotensi Mati Muda


Inilah Butet Kertaradjasa, salah satu seniman paling "rasional" yang dimiliki Jogja. Silahkan, katanya, jika orang mau menilainya sebagai seniman yang kompromistis. Karenanya, ia setengah mengutuk para seniman yang menjadikan seni sebagai legitimasi untuk abai terhadap keluarga. Seniman jenis ini, katanya, tak lebih dari egoisitis berlebihan yang mengharap semua orang memahami dirinya, sementara dirinya tak mau memahami orang lain, termasuk keluarganya.

Bagi Butet, kesenian kurang lebih sama dengan profesi lainnya. Karenanya, ia mesti dikelola dengan baik. Waktulah yang akan menjawab, seberapa besar seorang seniman telah mengelola kesenian dengan baik, dari sektor estetika, manajemen, dan kemanfaatan buat diri si seniman maupun orang lain.
Hasilnya, paling tidak Butet sudah merasa siap untuk mati, kapan pun Tuhan berkehendak "mengambilnya". Katanya, tanggung jawab sebagai manusia sudah ia kerjakan semampunya. Di antaranya, memberi jaminan "kesejahteraan" berupa asuransi, tanah dan rumah buat ketiga anaknya serta istrinya.
Maka, pada tiap menjelang tidur, doa Butet adalah, ia meminta maaf kepada Tuhan untuk kesalahannya terhadap keluarga, handai taulan, dan juga kepada Tuhan yang telah memeliharanya.
Keinginan Butet kini, adalah mati dalam situasi yang paling indah, yakni saat dirinya tidur. Keinginan lainnya, ia tak ingin mati dalam keadaan sakit, berutang, dan merepotkan keluarga yang ditinggalkan.
Lahir di Yogyakarta 21 November 1961. Anak ke 5 dari 7 bersaudara keluarga seniman (pelukis dan koreographer) Bagong Kussudiardja. Isteri: Rulyani Isfihana (Kutai, Kalimantan Timur). Anak: Giras Basuwondo (1981), Suci Senanti (1988), Galuh Paskamagma (1994). Pendidikan: Sekolah Menengah Seni Rupa (1978-1982), Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (1982-1987, jebol di tengah jalan).
Sebelum dikenal sebagai aktor teater, sejak 1978-1992 Butet pernah menjadi sketser (penggambar vignet) dan penulis freelance untuk liputan masalah-masalah sosial budaya untuk media-media lokal maupun nasional: KR, Bernas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik, Zaman, dan lain-lain. Ia juga aktif sebagai pelukis dan pengamat senirupa. Sampai sekarang masih menulis esai budaya atau kolom (tentang masalah sosial budaya) di berbagai media massa cetak nasional.
Teater, yang kemudian menjadi basis dia berkesenian, mulai ditekuni sejak 1978. Ia antara lain pernah bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang).
Puluhan repertoar teater yang pernah diikuti di Teater Gandrik antara lain Kesandung, Pasar Seret, Pensiunan, Sinden, Isyu, Dhemit, Orde Tabung, Kera-Kera, Upeti, Proyek, Flu, Buruk Muka Cermin Dijual, Khayangan Goyang, Juru Kunci, Juragan Abiyoso, Tangis, Brigade Maling. Terakhir bersama Teater Koma, Butet terlibat dalam pementasan lakon Republik Bagong (2001).
Yogyakarta kemudian mencatat prestasi Butet yang pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater SLTA se DIY ke-2 pada tahun 1979, sebagai Aktor dan Sutradara Terbaik Festival Teater SLTA se DIY ke-4 (1981).
Butet juga pernah terlibat di Sinetron untuk judul-judul seperti Kucing Pak Selatiban (1985), Ketulusan Kartika (1995), Asisten Sutradara "Tajuk" (1996), Air Kehidupan sampai (1998), Cintaku Terhalang Tembok (2001). Tahun 1999, dia pernah menjadi figur yang paling dibenci oleh anak-anak, karena perannya sebagai Pak Raden di film Petualangan Sherina.
Untuk Monolog, sebuah cabang kesenian dari seni teater, sebetulnya sudah lama dikenalnya. Butet mengawalinya sejak tahun 1986 lewat judul Racun Tembakau, kemudian Lidah Pingsan, Benggol Maling, Raja Rimba Jadi Pawang, Iblis Nganggur, Mayat Terhormat, dan Guru Ngambeg. Kepada Jodhi Yudono dari Kompas Cyber Media, pada Kamis (25/4/2002) lalu, di sebuah kafe di kawasan Blok M, Butet menuturkan romantika hidupnya.

Semua acaramu di Jakarta kebanyakan sudah terencana atau improvisasi?
Improvisasi. Saya nggak punya plan misalnya tahun depan mau ngapain. Saya ngalir saja. Paling nggak, kalau misalnya saya ada mood dan waktu saya memungkinkan ya saya pentas bersama Gandrik. Atau kalau tiba-tiba ada teman yang nawari untuk pentas panggung seperti Mas Nano (N Riantiarno, sutradara Teater Koma-Red) kemarin, saya on the spot saja. Mau nggak lu main, saya cocokkan waktunya, jalan. Atau kalau saya dan teman-teman mood main monolog, ya kita bikin. Jadi saya nggak punya plan jangka panjang. Tergantung situasi mood, mood saya atau moodnya Jadug.
Anda masih memenejeri Gandrik dan Kua Etnika? (Tahun 1995 Mendirikan Komunitas Seni Kua Etnika bersama Djaduk Ferianto, Purwanto dan Indra Tranggono. Komunitas ini merupakan wadah pengembagan gagasan kreatif di bidang seni pertunjukan: musik dan teater.)
Sekarang sudah ada pendelegasian tugas. Pada aspek pengelolan organisasi, di Kua Etnika saya sudah ada yang mewakili. Tapi semua masih bermuara ke saya untuk hal-hal yang sifatnya krusial. Kalau mereka nggak bisa mengambil keputusan dan berhadapan dengan hal-hal yang sulit, mereka masih berkonsultasi dengan saya.

Kedudukanmu sekarang?
Ya tetap di manajemen Kua Etnika, Sinten Remen, Gandrik, terus di Galang (badan usaha berbentuk advertising) juga. Tapi di Galang saya sudah menyatakan non aktif, komisaris saja.

Galang sendiri pada perkembangannya bergerak di bidang apa saja?
Awalnya periklanan, tapi konsentrasinya ke desain grafis. Sekarang penerbitan, percetakan dan yayasan, tapi saya sudah mengambil jarak. (Tahun 1996 Mendirikan Galang Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis. Tahun 1997 Mendirikan Yayasan Galang yang bergerak dalam pelayanan kampanye publik untuk masalah-masalah kesehatan reproduksi berperspektif jender.)

Kelompok-kelompok kesenian yang melibatkan Anda itu punya schedule nggak, untuk tahun ini Gandrik main, Kua Etnika main?
Maunya gitu, inginnya semuanya terencana tapi pada prakteknya ternyata nggak mungkin. Ada saja hambatannya, ternyata kita nggak bisa mempersamakan ambisi, tidak bisa mempersamakan dorongan kebutuhan berkesenian secara kolektif. Saya tak ingin terjadi andaikan itu terlaksana hanya karena ambisi saya, atau dorongan kreatif saya, saya nggak mau. Monolog pun begitu, saya nggak mau hanya dorongan saya saja sebagai pemain. Tapi maunya saya juga dorongan dari penulisnya. Tapi memang sulit, kadang ketika dorongan saya semangat untuk tampil, penulisnya enggak.
Kalau itu saya paksakan, nanti yang kalang kabut cuma saya sendiri. Prinsip organisasi egaliter yang saya bayangkan nanti tidak terwujud.

Tapi akhirnya toh Anda dan Jadug yang kelihatan sangat dominan di dalam kelompok-kelompok itu ya?
Ya begitulah yang terjadi, dan itu sangat saya sayangkan. Seharusnya mereka berada dalam semangat dan dinamika yang sama, karena peluang itu kita berikan. Susahnya mereka mendudukan saya dan Jadug dalam posisi itu, sehingga mereka tergantung. Kadang-kadang kalau mereka fair sih nggak masalah. Artinya fair itu tahu peran, tahu posisi. Susahnya pada saat dituntut kewajiban... pada saat kewajiban itu tidak imbang, tapi pada saat hak mereka menuntut egalitarian. Itu yang kadang sangat memprihatinkan pada saat kita berhubungan dengan sejumlah kepala yang tidak sama dalam menyikapi dunia kerja itu.

Omong-omong dalam sebulan Anda kumpul sama keluarga berapa hari?
Sejak Januari tahun ini sangat sedikit. Frekwensinya lebih banyak ke luar kota. April ini, saya hanya enam hari berada di rumah. Besok Jumat saya pulang, Senin sudah berangkat lagi. Saya baru pulang lagi hari Kamis. Setelah itu bulan Mei saya full di Jogja kecuali hari Senin.

Dari seringnya Anda meninggalkan rumah tidak problem buat keluarga?
Karena sejak lama sudah terbiasa dengan mekanisme seperti ini, anak istriku itu sudah kulino (terbiasa) saya tinggal. Waktu saya jadi wartawan juga sudah kulino sudah latihan mereka, sudah ngerti dunia saya. Tapi memang sejak saya main di Teater Koma agak lama mereka saya tinggalkan. Untungnya mereka mengikhlaskan dan masih mempercayai saya. (Ketika menjadi wartawan, prestasi Butet juga di atas wartawan biasa. Ia pernah menjadi juara pertama Lomba Esai TIM (1982). Tahun 1983 sebagai Juara Pertama Lomba Esai Tentang Wartawan, LP3Y. Tahun 1986-1990, Butet pernah bekerja sebagai wartawan Tabloid Monitor)

Ada nggak perasaan curiga atau cemburu dari istri karena seringnya Anda jauh dari keluarga?
Mungkin ya ada, tapi komitmennya, kalau istri saya sedang mood dan ingin menyusul saya, any time, saya harus memfasilitasi, mengakomodasinya. Di mana pun.

Kalau anak-anak?
Kalau pas libur sekolah, kadang mereka juga ikut.

Ada kosekwensi logis nggak buat keluarga dari risiko sering ditinggal pergi?
Apa yang saya lakukan semua ini buat mereka juga. Semua yang saya peroleh baik bersifat materi maupun non materi buat mereka. Kalau saya pas pulang, waktu pulang saya itu menjadi hak mereka. Mereka mau ngajak renang, makan-makan, dan saya harus konsekwen untuk bertanggungjawab sebagai seorang ayah.

Untuk urusan pendidikan anak-anak, semuanya diserahkan ke istri?
Sekolahan, formal. Karena saya dan istri saya hanya melakukan fungsi kontrol. Saya percaya, bahwa anak-anak itu akan melakukan pilihan-pilihan yang tepat. Karena saya tidak pernah mentargetkan apa pun kepada mereka. Sekolah tidak harus ranking-rankingan, nggak harus pinter-pinter banget, pokoknya penuhi sajalah kewajiban-kewajiban itu sebaik mungkin. Saya tumbuhkan kemampuan menyeleksi tindakan-tindakannya sendiri, karena saya mencoba meyakini kepada mereka bahwa apa pun yang terjadi merekalah yang menentukan. Termasuk kalau misalnya raport mereka merah, saya tidak akan marah. Kewajiban saya hanya menandatangani raport.

Kangen nggak sama mereka kalau ada di luar kota?
Kangen. Kangen sekali. Apalagi kalau sudah berada di hotel. Saya terhibur kalau pas ketemu teman-teman, sementara di hotel kan sepi. Sebab saya mengartikan bergaul itu juga sebagai kerja. Di hotel teman saya paling TV. Paling telpon-telponan sama mereka, mencari oleh-oleh buat mereka, sebisanya saya pulang membawa oleh-oleh buat mereka.

Biasanya mereka minta oleh-oleh apa?
Kalau anak sulung saya biasanya minta mentahannya saja, duit saja.

Sudah beli oleh-oleh apa buat anak-anak?
Anakku yang paling kecil banyak oleh-olehnya. buku bacaan, boneka. Anakku yang kedua minta dibeliin ponsel. Karena dia sudah kelas dua SMP, anak perempuan, fungsinya sebagai alat kontrol saja.

Nomor dua minatnya apa?
Minatnya musik, main drum, biola. Nomor tiga itu monolog, joged, nyanyi.

Anda ngajarin mereka?
Nggak. Anak saya yang belajar teater justru saya suruh ke mana-mana, jangan sama saya. Dia ikut teater Garasi. Dia saya suruh mencari. Anakku justru mendapatkan kepuasan karena tidak mendapat fasilitas dari saya. Seperti saya dulu, mecari. Saya sebagai penulis juga diakui, bukan karena katabeletje ayah saya. Saya main teater diakui juga karena jerih payah sendiri.

Anda merasa punya beban juga sebagai putranya Pak Bagong waktu masih dalam proses mencari itu?
Ya, beban buat saya. Sebab dengan mudah orang akan mengkait-kaitkan seakan-akan saya membonceng nama besar ayah saya. Hal yang sama sekarang terjadi juga pada anak-anak saya. Apalagi anak saya masuk ke wilayah teater. Buat mereka berat, makanya saya selalu bilang, kamu jangan dekat-dekat saya, sekali waktu boleh. Kalau kamu mau mendapatkan eksistensi, kamu harus belajar dengan orang lain, supaya kamu juga dapat melihat bahwa bapakmu ini nggak sempurna, ada kesalahan, dan kamu bisa melihatnya. Kalau kamu di sini, kamu akan menyangka bahwa aku ini pusat kebenaran.

Kalau yang sulung minatnya apa?
Kalau si mbarep (sulung) ke teater, pantomim dan film independen. Dia minta kamera tapi belum saya penuhi karena mahal.

Mahal gimana, kan Anda laris sekali..
Maksud saya, saya tidak ingin kalau memang anak saya mau jadi kameraman, itu akan saya penuhi, saya akan usahakan secara maksimal. Tapi karena dia ingin menjadi sutradara, sampai dia ngotot memiliki kamera, jangan-jangan dia butuh kamera hanya untuk kebutuhan melegitimasi dalam pergaulan sosialnya. Ya saya suruh merenungi itu. Kalau itu yang dia inginkan, pertanyaan saya kepada dia, apa kamu mau dihargai teman-teman kamu bukan karena prestasi? Tapi hanya karena kamera, dan itu pun pemberianku. Terus dia bilang, okelah lupakan soal kamera. Tapi ketika dia bilang begitu, saya malah berpikir, nanti kalau ada duit sekali waktu saya belikan deh.

Beberapa kali pementasan kan cukup
Kalau sekedar memenuhi hasrat itu bisa, tapi karena konon seorang ayah juga harus mendidik, saya tidak ingin menjadikan dia terlalu mudah mendapatkan kemudahan-kemudahan itu. Sebab saya dulu harus bergulat untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Begitu saya manjakan fasilitas, sebetulnya diam-diam saya sedang membunuh dia. Saya tidak ingin melakukan itu.

Anda mulai booming itu pas momen apa ya?
Pas Soeharto-Soehartoan itu, tahun 1998. Maksudnya ketika orang di luar komunitas kesenian mengenal saya.

Anda laku sekali setelah itu, tiap hari ada yang mengundang Anda?
Ya tidak setiap hari, tapi frekwensinya jadi lebih padat.
Sebelum momen itu Anda mengandalkan nafkah dari apa?
Dari Galang. Saya membangun basis ekonomi melalui Galang itu. Kadang-kadang nulis, diajak main sinetron sama temen. Main teater tidak bisa diandalkan.

Sekarang ini "jualan" Anda apa saja?
Macem-macem, ada sinetron, acara-acara di berbagai perusahaan yang aneh-aneh itu. Misalnya, saya diundang sebuah perusahaan untuk memotivasi karyawan yang patah semangat karena krisis moneter. Aneh kan? Aku sendiri lupa apa yang aku omongkan, tapi intinya memotivasi semangat hidup. Berbagi pengalaman dengan mereka, sambil guyon. Pengetahuan saya di bidang marketing yang sedikit ya saya bagi dengan mereka.

Harga tanggapannya berbeda dong, untuk kebutuhan komunitas kesenian dan mereka yang membuat anda merasa "terpaksa"?
Ya

Pasti lebih tinggi untuk yang "aneh-aneh" itu?
Jelas. Kalau untuk Gandrik sendiri saya malah nggak berpikir soal honor.

Untuk monolog Anda, bisanya siapa yang menulis skenarionya?
Biasanya Agus Noor, dulu ada Indra Tranggono. Kalau kepepet ya saya tulis sendiri.

Omong-omong soal Indra Tranggono, dia pernah berkata, mestinya Butet sudah mulai berbagi dengan komunitas kesenian yang membesarkan dirinya, apa tanggapan Anda?
Pengertian berbagi seperti apa?

Barangkali Anda jadi semacam maisenas buat kelompok-kelompok teater di Jogja
Kalau toh saya melakukan itu, pertama-tama bukan karena disuruh orang lain. Kedua, harus dipahami bahwa saya bukan sinterklas. Dan ketika saya tumbuh pun saya tidak mau dimanja seperti itu. Tapi saya tahu maksudnya Indra adalah moral obligation. Mengartikan moral obligation tidak sesederhana itu dan tidak harus seperti itu. Kedua, kalaupun saya berderma, saya tidak ingin memamerkan kedermawanan saya untuk diketahui orang lain. Okelah, kalaupun tidak berbentuk material, moral.

Moral obligation apa yang sudah Anda berikan kepada dunia kesenian?
Dengan memberikan kemungkinan-kemungkinan akses yang saya punya untuk kepentingan grup-grup kesenian di Jogja. Saya tidak pernah pelit memberikan akses saya yang saya peroleh kepada teman-teman, siapa pun mereka. Tergantung mereka mau mengolah akses itu apa tidak. Itu moral obligation saya, saya tidak pelit. Tapi artinya orang harus bekerja untuk mengolah akses. Orang tidak bisa hanya tidur, kemudian menerima hasil. Kalau tidak mengolah akses, ya tidak akan mendapatkan apa-apa.
Tapi diam-diam, terpaksa saya omongkan karena saya ditanya, kepada sejumlah anak muda yang melakukan kegiatan, entah teater, pembuat film independen, datang kepada saya dan kebetulan pada saat itu saya punya uang, sedikit-sedikitnya saya menunjukkan konsen kepada mereka, tapi seharusnya tidak saya omongkan.
Jadi kalau yang diistilahkan tadi berbagi, saya tidak bisa menerima sebuah pikiran memaksakan kehendak orang kepada diri saya. Itu namanya tiran. Pertanyaanku, apakah secara spesifik hanya ditujukan kepada saya? Apakah juga untuk mereka yang tumbuh dalam atmosfir kesenian Jogja? Kalau kita berpikirnya egaliter, secara fair itu harus diaplikasikan kepada siapa pun, termasuk Indra Tranggono sendiri.

Apa Anda ada masalah dengan Indra Tranggono?
Saya merasa tidak ada masalah dengan dia, tapi dia yang tidak mau saya dekati, tidak mau lagi membantu saya.

Sejak kapan "berpisah" dengan dia?
Ya sejak tiga bulan ini. Saya sangat menyayangi dia, mencintai dia, karena dia juga teman saya sejak SMP. Tapi Indro sudah menyatakan tidak mau bekerjasama lagi dengan saya. Saya tidak tahu masalah apa sebenarnya, karena saya merasa tidak pernah punya masalah.

Situasi kesenian di Jogja sendiri sekarang macam apa?
Saya tidak melihat yang mengkhawatirkan kalau melihat semangat mereka. Mereka yang berproses dengan kesungguhan masih ada. Yang ke industri juga ada. Mereka yang melakukan pencarian-pencarian kreatif juga masih ada. Artinya, dinamika kesenian sebagaimana dulu ketika saya tumbuh, itu masih berlangsung dengan wajar dalam format mereka, dalam semangat mereka. Saya tidak bisa memaksakan romatisme saya yang dulu kepada anak muda sekarang.

Karena putra-putra Pak Bagong sebagian sibuk, macam Anda dan Jadug, hubungan sesama anggota keluarga Bagong Koesudiardjo bagaimana?
Baik. Tapi dengan bapak saya lama nggak ketemu, karena saya sering pergi.

Masih ada sisa-sisa romantisme Anda sebagai anak Pak Bagong?
O masih, kalau ada waktu saya sempatkan main ke rumah bapak. Guyon-guyon.

Bisa kumpul di rumah bapak biasanya pas momen apa?
Ya kalau hari raya, Natal, lebaran, tahun baru, atau pas slametan ibuku, pasti kumpul.

Biasanya apa yang diperbicangkan kalau kumpul di rumah Pak Bagong?
Paling-paling cuma ngomong saru (jorok). Pokoknya nggak ada omongan serius, yang ada ya guyon saja. Waktu anak-anak sih serius, sekarang anak-anak sudah mempunyai kepercayan diri dan kemandirian.

Hubungan Anda dengan adik Anda, Jadug, sangat akrab sekali. Keakraban yang egaliter itu sudah terjalin sejak kapan?
Sejak dia mulai berkesenian. Dia ngendang itu sejak SD. Aku main teater dia sudah musikin saya. Tahun 77/78 dia masih pakai celana pendek. Aku main teater, dia main musik.

Kalau Pak Bagong punya kegiatan, Anda masih suka membantu?
Ya, dulu. Sekarang sudah sibuk, jarang. Dulu aku jadi manajer produksinya.

Kalau nggak ada pekerjaan kesenian, kegiatan anda apa?
Paling-paling kalau di luar kota ya ke warnet. Buat ngecek surat-surat. Browsing sudah nggak sempet. Kalau ada order ya bikin tulisan buat media, atau bikin karangan untuk acara, atau bisa juga bikin proposal. Paling kalau di hotel ya cuma nonton TV dan baca.

Sebagai orang sibuk, perangkat kerja Anda apa? Laptop barangkali?
Nggak ada. Apa, ya cuma diriku. Kalau kepingin ngetik ya di warnet.

Nggak butuh asisten?
Nggak, ndak konangan (nanti ketahuan honornya).

Pernah ada masalah nggak dengan jadwal acara Anda yang padat karena nggak ada asisten?
Nggak. Saya itu nasibnya tergantung ini (Butet mengambil sebuah buku agenda kecil dari saku celana). Nyawaku ada di sini. Ini ilang, kacau aku. Sejak sebelum 1998 saya sudah mempunyai tradisi pakai agenda harian. Mulainya karena Tempo dan Jakarta Post selalu memberi agenda kepada saya tiap akhir tahun, karena saya punya biro iklan itu (Galang-Red), beberapa media cetak suka ngirim souvenir. Jadi saya punya kebiasaan mencatat apa yang akan saya lakukan. Seperti ini (menunjukkan agenda acara), sampai bulan September ada sejumlah kegiatan yang harus saya tangani. Jadi saya tidak perlu sekretaris. Sekretarisku ya yang di kantong ini.

Terus kalau ada orang yang tiba-tiba memesan Anda pentas, padahal jadwal kegiatan Anda sudah penuh sampai September bagaimana?
Sebetulnya setiap saat bisa, asal waktunya cocok. Jadi kalau ada orang mau memesan saya, ya harus menyesuaikan dengan waktu yang masih bolong-bolong belum terisi itu.

Untuk menjaga stamina, jamu Anda apa?
Doping saya pakai obat Cina, ginseng cair yang di botol kecil. Tapi itu jarang, paling kalau mau pentas yang membutuhkan kegiatan fisik. Tapi sehari-hari obatnya ya tidur. Prinsipnya kalau ngantuk terus tidur, entah siang, sedang di dalam taksi. Tiba di hotel kalau ngantuk langsung tidur, nggak boleh ditunda.

Refreshingnya biasanya apa?
Makan bersama anak-anak, jajan soto, makan malam bersama mereka.

Punya tempat favorit kalau ngajak makan anak-anak?
Soto Kaditiro, soto Pak Slamet, kalau malam tongseng, sate Kletek, tongseng Tamansari. Anak-anakku ya ke mal.

Kalau refreshing ketika di luar rumah apa?
Seperti di luar kota ini? Ya ketemu teman-teman, ke kafe, diajak relasi-relasi, mereka itu seneng nraktir aku.

Menyeleweng nggak?
Ya harus mengaku nggak, hehehe

Pacar punya nggak?
Nggak

Untuk pencerahan batin?
Nggak, cukup istri saya

Karena sering makan enak, sudah mulai ada keluhan?
Ada, diabet dan kolesterol. Pernah kadar gulaku sampai 400, kolesterolnya 400. Dokter menyarankan saya supaya diet keras dan olahraga keras sampai mengeluarkan keringat. Sempat coba saya lakukan sampai sepuluh hari, hasilnya efektif. Jamunya pakai telor ayam dan asam cuka. Biasanya istriku yang ngurusi. Tapi kalau di luar kota begini jadi kacau nih acara jamu-jamuan.

Istri Anda kegiatannya apa di rumah?
Nanti pementasan Gandrik dia ikut. Kegiatan lain, dia bisnis kecil-kecilan, saya ikut memfasilitasi agar dia mandiri. Kenapa saya dorong dia untuk mandiri? Karena saya merasa saya punya potensi mati muda. Saya tidak ingin kalau saya mati ngrepotin orang. Kalau istri saya mandiri secara ekonomi, punya pengalaman melakukan usaha, relatif amanlah. Dan kalau saya tidak mati, saya memberikan kesempatan dia mandiri secara ekonomi. Karena kalau saya tidak lakukan itu, secara ekonomi istriku dan anak-anakku tergantung pada aku semua. Padahal aku ada batasnya kan? Fisik bisa hancur, bisa sakit, bisa mati pula. Karenanya dia saya fasilitasi untuk bisnis itu.

Soal potensi mati muda, memangnya Anda merasakan apa belakangan ini?
Ya menyadari keterbatasan fisik saya yang sudah terjangkit macam-macam penyakit, ada gula, ada kolesterol.

Anda siap mati kapan saja?
Ya, bahkan setiap mau tidur doa saya kepada Tuhan adalah, agar Tuhan memaafkan kesalahan saya kepada teman-teman saya, keluarga saya, kepada perilaku-perilakuku. Karena perasaan saya besoknya ketika bangun tidur saya akan mati. Cita-citaku kan mati tanpa sakit, mati nggak ngerepotin orang lain. Mati tanpa siksa. Itu mati yang indah buat saya.

Sudah melihat tanda-tandanya?
Ini kebetulan saya sedang membuat rumah. Teman-temanku, pada saat mereka membangun atau rumah selesai, itu mati. Jadi ketika saya memutuskan membuat rumah, aku bilang sama istriku, aku bisa mati ini. Sekarang rumahku sudah memasuki tahap finishing, aku ge-er ini aku bisa mati, udah deket nih matiku.

Untuk cadangan hari tua, apa yang sudah Anda perbuat buat masa depan anak-anak?
Saya meniru ayah saya. Dia itu ingin memfasilitasi anak-anaknya dalam hal sandang, pangan, papan. Saya membeli tanah, tidak untuk saya, tapi untuk anak saya. Saya dibelikan tanah oleh bapak saya, dibuatkan rumah, meskipun saya sekarang merenovasi rumah itu, sekarang saya sudah membeli tanah untuk anak-anak saya dalam ukuran yang pantas, sekitar 200 m2.

Menirukan gaya bicara orang masih suka dipakai di panggung?
Kadang masih, tergantung kebutuhan dan situasi. Tergantung konteknya. Ketika saya berkesenian, saya ya ge-er merasa diri saya seniman, tapi ketika orang mengundang saya untuk memotivasi karyawan, saya ya ge-er merasa sedang berjuang untuk perusahaan itu sambil menghibur. Ketika orang mengundang saya untuk mengisi acara agar publik tertawa karena mereka sedang sedih, saya ge-er bahwa diri saya sedang jadi seorang entertainer.